Untuk hal tersebut diatas, PENERIMA KUASA berhak menghadap penyidik kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dinas’instansi terkait, membuat dan menandatangani surat-surat yang berkaitan dengan pelaporan, teguran dan pemanggilan, mengajukan/menerima/menolak bukti-bukti, saksi-saksi, melakukan musyawarah/perdamaian atas persetujuan PEMBERI KUASA
Abstrak. Syarat surat kuasa khusus yang disebutkan di dalam Pasal 123 ayat (1) HIR/Pasal 147 ayat (1) RBG, hanya syarat pokok saja, berbentuk tertulis atau akta, sehingga pada masa lalu, surat kuasa khusus sangat sederhana sekali, hanya berisi formulasi “memberi kuasa kepada seseorang untuk mewaki pemberi kuasa menghadap di semua pengadilan”.
Apabila surat kuasa menyebutkan untuk digunakan sampai dengan pemeriksaan peninjauan kembali, tetap diperlukan adanya surat kuasa khusus untuk peninjauan kembali, karena peninjauan kembali bukan peradilan tingkat selanjutnya dari tingkat pertama,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Mahkamah Agung menyempurnakan syarat dalam surat kuasa khusus di Pengadilan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yaitu: a. SEMA Nomor 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959; b. SEMA Nomor 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962; c. SEMA Nomor 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971; dan d. SEMA Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.