EMULSI EMULSI adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau cairan obat terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan–tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan emulgator/surfaktan yang cocok. KOMPONEN EMULSI Digolongkan menjadi 2 macam yaitu Komponen Dasar Yaitu bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat didalam emulsi, biasanya terdiri dari 1. Fase dispers / fase internal / fase diskontinyu Yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain. 2. Fase kontinyu / fase eksternal / fase luar Yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar pendukung dari emulsi tersebut. 3. Emulgator Adalah bagian Berupa zat yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi. Komponen Tambahan Bahan tambahan adalah bahan yang sering ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen saporis,odoris, colouris, preservatif pengawet, antoksidant. Preservatif yang biasa digunakan adalah metil dan propil paraben, asam benzoat, asam sorbat, fenol, kresol, dan klorbutanol, benzalkonium klorida, fenil merkuri asetat, dll. Antioksidant yang digunakan antara lain asam askorbat, asam sitrat, propil gallat dan asam gallat. TIPE EMULSI Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu Emulsi tipe O/W oil in wateratau M/A minyak dalam air. Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar kedalam air. Minyak sebagai fase internal dan air fase eksternal. 2. Emulsi tipe W/O water in oil atau A/M air dalam minak. Adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar kedalam minyak. Air sebagai fase internal sedangkan fase minyak sebagai fase eksternal. TUJUAN PEMAKAIAN EMULSI Emulsi dibuat untuk diperoleh suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling tidak bisa bercampur. Tujuan pemakaian emulsi adalah 1. Dipergunakan sebagai obat dalam / peroal. Umumnya emulsi tipe O/W. 2. Dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O tergantung banyak faktor misalnya sifat zat atau jenis efek terapi yang dikehendaki. TEORI TERJADINYA EMULSI Proses terbentuknya emulsi dikenal 4 macam teori, yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. 1. Teori Tegangan Permukaan Surface Tension Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang disebut dengan daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik menarik antara molekul yang tidak sejenis yang disebut dengan daya adhesi. Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan bidang batas dua cairan yang tidak dapat bercampur. Tegangan yang terjadi antara dua cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas. Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang mengakibatkan antara kedua zat cair itu semakin susah untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau senyawa-senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa organik tetentu antara lain sabun. Didalam teori ini dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan dan menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur. 2. Teori Orientasi Bentuk Baji Oriented Wedge Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni Kelompok hidrofilik, yakni bagian dari emulgator yang suka pada air. Kelompok lipofilik, yakni bagian yang suka pada minyak. 3. Teori Interparsial Film Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase dispers. Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase dispers menjadi stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi, syarat emulgator yang dipakai adalah Dapat membentuk lapisan film yang kuat tapi lunak. Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispers. Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua permukaan partikel dengan segera. 4. Teori Electric Double Layer lapisan listrik ganda Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Karena susunan listrik yang menyelubungisesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah. Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh salah satu dari ketiga cara dibawah ini. Terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel. Terjadinya absorpsi ion oleh partikel dari cairan disekitarnya. Terjadinya gesekan partikel dengan cairan disekitarnya EMULGATOR BAHAN PENGEMULSI Emulgator alam Yaitu Emulgator yang diperoleh dari alam tanpa proses yang rumit, dapat digolongkan menjadi tiga golongan 1. Emulgator alam dari tumbuh-tumbuhan Bahan-bahan karbohidrat , bahan-bahan alami seperti akasia gom, tragakan, agar, kondrus dan pectin. Bahan-bahan ini membentuk koloid hidrofilik bila ditambahkan kedalam air dan umumnya menghasilkan emulsi m/a. a. Gom arab Sangat baik untuk emulgator tipe O/W dan untuk obat minum. Kestabilan emulsi yang dibuat dengan gom arab berdasarkan 2 faktor yaitu – Kerja gom sebagai koloid pelindung – Terbentuknya cairan yang cukup kental sehingga laju pengendapan cukup kecil sedangkan masa mudah dituang tiksotropi. – Lemak-lemak padat PGA sama banyak dengan lemak padat. – Minyak atsiri PGA sama banyak dengan minyak atsiri. – Minyak lemak PGA ½ kali berat minyak. – Minyak lemak + minyak atsiri + Zat padat larut dalam minyak lemak. – Bahan obat cair BJ tinggi seperti cloroform dan bromoform. – Balsam-balsam. – Oleum lecoris aseli c. Agar-agar d. Chondrus e. Emulgator lain Pektin, metil selulosa, CMC 1-2 %. 2. Emulgator alam dari hewan Zat-zat protein seperti gelatin, kuning telur, kasein, dan adeps lanae. Bahan-bahan ini menghasilkan emulsi tipe m/a. kerugian gelatin sebagai suatu zat pengemulsi adalah sediaan menjadi terlalu cair dan menjadi lebih cair pada pendiaman. CARA PEMBUATAN EMULSI Dikenal 3 metode dalam pembuatan emulsi yaitu gom kering Disebut pula metode continental dan metode 4;2;1. Emulsi dibuat dengan jumlah komposisi minyak dengan ½ jumlah volume air dan ¼ jumlah emulgator. Sehingga diperoleh perbandingan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian emulgator. Pertama-tama gom didispersikan kedalam minyak, lalu ditambahkan air sekaligus dan diaduk /digerus dengan cepat dan searah hingga terbentuk korpus emulsi. gom basah Disebut pula sebagai metode Inggris, cocok untuk penyiapan emulsi dengan musilago atau melarutkan gum sebagai emulgator, dan menggunakan perbandingan 4;2;1 sama seperti metode gom kering. Metode ini dipilih jika emulgator yang digunakan harus dilarutkan/didispersikan terlebuh dahulu kedalam air misalnya metilselulosa. 1 bagian gom ditambahkan 2 bagian air lalu diaduk, dan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit botol Disebut pula metode Forbes. Metode inii digunakan untuk emulsi dari bahan-bahan menguap dan minyak-minyak dengan kekentalan yang rendah. Metode ini merrupakan variasi dari metode gom kering atau metode gom basah. Emulsi terutama dibuat dengan pengocokan kuat dan kemudian diencerkan dengan fase luar. Dalam botol kering, emulgator yang digunakan ¼ dari jumlah minyak. Ditambahkan dua bagian air lalu dikocok kuat-kuat, suatu volume air yang sama banyak dengan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus dikocok, setelah emulsi utama terbentuk, dapat diencerkan dengan air sampai volume yang tepat. Penyabunan In Situ a. Sabun Kalsium Emulsi a/m yang terdiri dari campuran minyak sayur dan air jeruk,yang dibuat dengan sederhana yaitu mencampurkan minyak dan air dalam jumlah yang sama dan dikocok kuat-kuat. Bahan pengemulsi, terutama kalsium oleat, dibentuk secara in situ disiapkan dari minyak sayur alami yang mengandung asam lemak bebas. b. Sabun Lunak Metode ini, basis di larutkan dalam fase air dan asam lemak dalam fase minyak. Jika perlu, maka bahan dapat dilelehkan, komponen tersebut dapat dipisahkan dalam dua gelas beker dan dipanaskan hingga meleleh, jika kedua fase telah mencapai temperature yang sama, maka fase eksternal ditambahkan kedalam fase internal dengan pengadukan. c. Pengemulsi Sintetik Alat yang digunakan dalam pembuatan emulsi, untuk pembuatan emulsi yang baik. Mortar dan stamper Botol Mixer, blender Homogenizer Colloid mill Cara Membedakan Tipe Emulsi 1. Test Pengenceran Tetesan Metode ini berdasarkan prinsip bahwa suatu emulsi akan bercampur dengan yang menjadi fase luarnya. Misalnya suatu emulsi tipe m/a, maka emulsi ini akan mudah diencerkan dengan penabahan air. Begitu pula sebaliknya dengan tipe a/m. 2. Test Kelarutan Pewarna Metode ini berdasarkan prinsip keseragaman disperse pewarna dalam emulsi , jika pewarna larut dalam fase luar dari emulsi. Misalnya amaranth, adalah pewarna yang larut air, maka akan terdispersi seragam pada emulsi tipe m/a. Sudan III, adalah pewarna yang larut minyak, maka akan terdispersi seragam pada emulsi tipe a/m. Test Creaming Arah Pembentukan Krim Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-tetesan terdispersi berdasarkan densitas dari fase internal dan fase eksternal. Jika densitas relative dari kedua fase diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispers dapat menunjukkan tipe emulsi yang ada. Pada sebagian besar system farmasetik, densitas fase minyak atau lemak kurang dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas, maka emulsi tersebut adalah tipe m/a, jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah, maka emulsi tersebut merupakan tipe a/m. 4. Test Konduktivitas Elektrik Metode ini berdasarkan prinsip bahwa air atau larutan berair mampu menghantarkan listrik, dan minyak tidak dapat menghantarkan listrik. Jika suatu elektroda diletakkan pada suatu system emulsi, konduktivitas elektrik tampak, maka emulsi tersebut tipe m/a, dan begitu pula sebaliknya pada emulsi tipe a/m. 5. Test Fluorosensi Sangat banyak minyak yang dapat berfluorosensi jika terpapar sinar ultra violet. Jika setetes emulsi di uji dibawah paparan sinar ultra violet dan diamati dibawah mikroskop menunjukkan seluruh daerah berfluorosensi maka tipe emulsi itu adalah a/m, jika emulsi tipe m/a, maka fluorosensi hanya berupa noda. Kestabilan Emulsi Emulsi dikatakan tidak stabil bila mengalami hal-hal seperti dibawah ini Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana yang satu mengandung fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. Creaming bersifat reversibel artinya bila dikocok perlahan-lahan akan terdispersi kembali. Koalesen dan cracking breaking yaitu pecahnya emulsi karena film yang meliputi partikel rusak dan butir minyak akan koalesen menyatu. Sifatnya irreversibel tidak bisa diperbaiki. Hal ini dapat terjadi karena Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan PH, penambahan CaO / CaCL2 Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan dan pengadukan. Inversi yaitu peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi W/O menjadi O/W atau sebaliknya dan sifatnya irreversible. Viskositas emulsi dipengaruhi oleh perubahan komposisi 1. Adanya hubungan linear antara viskositas emulsi dan viskositas fase kontinu. 2. Makin besar volume fase dalam, makin besar pula viskositas nyatanya. 3. Untuk mengatur viskositas emulsi, tiga factor interaksi yang harus dipertimbangkan oleh pembuat formula, yaitu Viskositas emulsi m/a dan a/m dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran partikel fase terdispersi , Kestabilan emulsi ditingkatkan dengan pengurangan ukuran partikel dan Flokulasi atau penggumpalan, yang cenderung membentuk fase dalam yang dapat meningkatkan efek penstabil, walaupun ia meningkatkan viskositas. 4. Biasanya viskositas emulsi meningkat dengan meningkatnya umur sediaan tersebut. HydrophylLipophyl Balance HLB Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang besarnya tidak sama. Harga keseimbangan itu dikenal dengan istilah Hydrophyl Lipophyl Balance yaitu angka yang menunjukkan perbandingan antara kelompok lipofil dengan kelompok hidrofil. Semakin besar harga HLB berarti semakin banyak kelompok yang suka pada air, itu artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian sebaliknya. Dalam tabel dibawah dapat dilihat kegunaan suatu emulgator ditinjau dari harga HLB-nya.
asamaskorbat kandungan zat aktif lain yang terdapat dalam ektrak pelepah daun pisang adalah tannin. Pelepah pisang mengandung tannin, flavonoid dan saponin yang berfungsi sebagai antiseptic [3]. Tannin yang terdapat dalam pelepah pisang kapok dapat berfungsi sebagai antiseptic, dimana senyawa tannin adalah senyawa pereduksi yang
Skip to content Beranda / Obat A-Z / Asam Askorbat Manfaat, Dosis, Efek Samping Asam Askorbat Manfaat, Dosis, Efek Samping – Asam askorbat obat apa? Asam askorbat adalah nama lain dari vitamin C. Jenis vitamin larut air ini merupakan salah satu vitamin paling dibutuhkan oleh tubuh. Fungsi asam askorbat adalah sebagai antioksidan dan meningkatkan sistem lebih jauh tentang Asam askorbat mulai dari manfaat, dosis, efek samping, dan lainnya tentang Asam askorbat berikut ini. Rangkuman Informasi Obat Asam askorbat Nama Obat Asam askorbat Kelas Obat Suplemen Kategori Obat bebas Manfaat Obat Antioksidan, meningkatkan sistem imun Dikonsumsi Oleh Dewasa dan anak-anak Sediaan Obat Tablet effervescent, tablet hisap, cairan injeksi Manfaat Asam askorbat Fungsi asam askorbat secara umum adalah menjaga sistem imun tubuh dan sebagai antioksidan. Antioksidan asam askorbat umumnya dapat didapatkan dari sumber makanan. Penggunaan asam askorbat vitamin C dalam bentuk suplemen umumnya dilakukan untuk mengatasi beberapa masalah terkait dengan defisiensi vitamin C. Manfaat dan fungsi asam askorbat sebagai suplemen meliputi dan mencegah penyakit scurvy Scurvy adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan asupan vitamin C. Seseorang yang jarang mengonsumsi buah dan sayur berisiko tinggi terkena scurvy. Gejala scurvy dapat meliputi lemah, lelah, gusi berdarah, dan gangguan pada kulit. 2. Membantu penyerapan zat besi Fungsi asam askorbat yang kedua adalah membantu dalam penyerapan zat besi. Konsumsi vitamin C bersama zat besi dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hal ini lah yang menyebabkan kekurangan vitamin C juga dapat memicu anemia, karena zat besi sangat penting dalam pembentukan sel darah merah. 3. Antioksidan dan meningkatkan sistem imun Suplemen vitamin C juga dapat bertindak sebagai antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas yang dapat memicu kerusakan sel. Fungsi antioksidan asam askorbat tidak hanya dimanfaatkan untuk kesehatan, tapi juga dalam bidang kecantikan untuk mencegah penuaan. Asam askorbat vitamin C juga dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Konsumsi vitamin C ketika gejala penyakit ringan seperti flu muncul umumnya dapat membantu tubuh kembali pulih tanpa harus mengonsumsi obat-obatan lain. Selain fungsi asam askorbat di atas, beberapa fungsi vitamin C lainnya adalah seperti untuk mengosongkan perut pada prosedur kolonoskopi, meningkatkan protein dalam urin, tekanan darah tinggi, radang lambung, dan masih banyak lagi. Asam askorbat dapat diberikan bersamaan dengan obat-obatan lain untuk mengatasi kondisi-kondisi tersebut. Dosis Asam askorbat Sediaan Asam askorbat bermacam-macam mulai dari tablet, tablet hisap, tablet effervescent, dan juga cairan injeksi. Dosis harian asam askorbat yang direkomendasikan adalah sebagai berikut ini Usia 0-6 bulan 40 mg/hari. Usia 7-12 bulan 50 mg/hari. Usia 1-3 tahun 15 mg/hari. Usia 4-8 tahun 25 mg/hari. Usia 9-13 tahun 45 mg/hari. Perempuan usia 14-18 tahun 65 mg/hari. Remaja hamil 80 mg/hari. Remaja menyusui 115 mg/hari Laki-laki usia 14-18 tahun 75 mg/hari. Pria 19 tahun ke atas 90 mg/hari. Wanita 19 tahun ke atas 75 mg/hari. Wanita hamil 85 mg/hari. Wanita menyusui 120 mg/hari. Apabila Anda seorang perokok, maka dosis harus ditambahkan 35 mg/hari. Dosis di atas adalah dosis harian asam askorbat. Dosis bisa didapatkan dari suplemen atau bisa juga sebagian didapatkan dari asupan diet lainnya. Dosis suplemen dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Gunakan obat ini sesuai dengan dosis yang disarankan dan jangan mengganti dosis tanpa berdiskusi dengan dokter maupun apoteker. Petunjuk Penggunaan Asam askorbat Asam askorbat harus digunakan sesuai dengan petunjuk penggunaannya. Berikut adalah cara minum Asam askorbat yang benar Gunakan suplemen asam askorbat sesuai dengan dosis yang disarankan. Gunakan suplemen asam askorbat pada waktu yang sama setiap harinya. Jika dosis terlewat, segera konsumsi obat saat ingat. Namun jika dekat dengan dosis selanjutnya, maka cukup konsumsi dosis selanjutnya saja. Jika tidak sengaja mengonsumsi suplemen asam askorbat melebihi dosis yang disarankan, segera konsultasikan ke dokter. Petunjuk Penyimpanan Asam askorbat Berikut adalah petunjuk penyimpanan asam askorbat yang harus diperhatikan Simpan suplemen vitamin C pada suhu ruangan. Simpan suplemen asam askorbat di tempat kering dan tidak lembap. Hindari suplemen asam askorbat dari cahaya atau sinar matahari langsung. Hindari suplemen asam askorbat dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan. Efek Samping Asam askorbat Setiap jenis obat memiliki potensi menimbulkan efek samping, begitu juga dengan vitamin. Asam askorbat vitamin C juga memilki potensi menimbulkan efek samping. Berikut adalah beberapa efek samping yang mungkin muncul dari penggunaan asam arkorbat Diare Mual Muntah Kram perut Mulas Efek samping lain yang lebih serius namun lebih jarang terjadi adalah seperti Buang air kecil menyakitkan Urin mengandung darah Reaksi alergi seperti ruam, gatal, bengkak pada wajah, lidah, tenggorokan, pusing, kesulitan bernapas. Efek samping di atas tidak selalu terjadi. Efek samping dapat terjadi akibat penggunaan obat berlebihan, interaksi obat, penggunaan jangka panjang, atau karena kondisi tertentu dari setiap pasien yang tentunya berbeda-beda. Jika Anda merasakan gejala efek samping berat atau reaksi alergi dari penggunaan obat ini, segera hentikan penggunaan obat dan konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Interaksi Obat Asam askorbat Interaksi obat dapat terjadi ketika Asam askorbat digunakan bersama dengan jenis obat-obatan lain tertentu. Interaksi obat menyebabkan efektivitas obat menurun dan dapat meningkatkan potensi terjadinya efek samping. Berikut adalah jenis obat yang sebaiknya tidak digunakan bersama dengan Asam askorbat Aluminium Estrogen Fluphenzine Kemoterapi Obat untuk HIV/AIDS, protease inhibitor Statin Niacin Warfarin Obat-obatan lain yang mungkin juga dapat berinteraksi meskipun kemungkinannya lebih kecil adalah seperti Acetaminophen Aspirin Trilisate Nicardipine Nifediine Salsalate Daftar obat di atas kemungkinan bukan merupakan daftar lengkap. Beri tahu dokter apabila Anda sedang mengonsumsi atau belakangan mengonsumsi obat-obatan tertentu baik obat resep, non-resep, hingga herbal. Konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan interaksi obat, maka sebaiknya dihindari. Diskusikan juga dengan dokter tentang jenis makanan atau minuman yang sebaiknya dihindari selama penggunaan obat Asam askorbat untuk menghindari interaksi obat. Peringatan dan Perhatian Asam askorbat Asam askorbat tersedia dalam sediaan obat bebas dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain dan masuk ke dalam golongan obat resep. Ikuti petunjuk penggunaan obat ini dengan seksama untuk menjaga keamanannya. Berikut adalah beberapa hal lain yang perlu menjadi peringatan dan perhatian selama penggunaan obat Asam askorbat Jangan gunakan suplemen ini pada pasien yang hipersensitif terhadap asam askorbat vitamin C dan komponen lain yang terkandung dalam suplemen ini. Hati-hati penggunaan pada pasien dengan kondisi seperti hamil, menyusui, memiliki riwayat penyakti ginjal, memiliki riwayat defisiensi G6PD, diabetes, dan kelainan darah. Sumber VITAMIN C ASCORBIC ACID – diakses 26 April 2019 Vitamin C – diakses 26 April 2019 ASAM ASKORBAT – diakses 26 April 2019 DokterSehat © 2023 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi
Bahantambahan pangan emulsifier sangat dibutuhkan oleh industri pangan untuk membentuk tekstur produk pangan emulsi yang stabil. Pada umumnya emulsifier berupa biopolimer yang te
Influence of initiator types and emulsion polymerization techniques to particle size of copolymerization styrene- butyl acrylate-methyl methacrylate. Copolystyrene/butyl acrylic/methyl methacrylic was prepared by emulsion polymerization method. This paper describes effect of insiator types ammonium persulfate APS, hydrogen peroxide, ters-butyl peroxide TBHP, initiator redox H2O2/ascorbic acid and polymerization techniques batch and semicontinue to particle size distribution of copolystyrene/butyl acrylic/methyl methacrylic. Initiator TBHP and H2O2 could not initiate copolymerization properly, but initiator APS and redox initiate copolymerization with batch and semi continue techniques could well perform. The higher concentration of APS, the greater particle size of the copolymer, but the copolymer is polymodal. Initiator redox H2O2/ascorbic acid produced greater particle size than initiator redox ascorbic acid/ H2O2. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 61PENGARUH VARIASI INISIATOR DAN TEKNIK POLIMERISASI TERHADAP UKURAN PARTIKEL PADA KOPOLIMERISASI EMULSI STIRENA-BUTIL AKRILAT-METIL METAKRILAT Emil Budianto, dan Ariyanti Sarwono Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail emilb Abstrak Pembuatan kopolistirena/butil akrilat/metil metakrilat dilakukan dengan metode polimerisasi emulsi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variasi inisiator dan teknik polimerisasi terhadap ukuran partikel pada kopolimerisasi emulsi stirena-butil akrilat-metil metakrilat. Inisiator yang digunakan adalah inisiator anorganik dan organik, yaitu ammonium persulfat APS, hidrogen peroksida H2O2, ters-butil hidroperoksida TBHP, serta inisiator redoks H2O2/asam askorbat. Teknik polimerisasi yang dilakukan adalah teknik batch dan semi kontinu. Hasil kopolimerisasi emulsi menggunakan inisiator TBHP dan H2O2 kurang sempurna, tetapi bila digunakan pasangan inisiator APS atau redoks H2O2/asam askorbat kopolimerisasi berjalan dengan sempurna baik dengan teknik batch maupun semi kontinu. Semakin besar konsentasi inisiator APS yang ditambahkan, ukuran partikel kopolimer semakin besar pula namun dihasilkan kopolimer yang polimodal. Inisiator redoks H2O2/asam askorbat menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan asam askorbat/ H2O2. Abstract Influence of initiator types and emulsion polymerization techniques to particle size of copolymerization styrene-butyl acrylate-methyl methacrylate. Copolystyrene/butyl acrylic/methyl methacrylic was prepared by emulsion polymerization method. This paper describes effect of insiator types ammonium persulfate APS, hydrogen peroxide, ters-butyl peroxide TBHP, initiator redox H2O2/ascorbic acid and polymerization techniques batch and semicontinue to particle size distribution of copolystyrene/butyl acrylic/methyl methacrylic. Initiator TBHP and H2O2 could not initiate copolymerization properly, but initiator APS and redox initiate copolymerization with batch and semi continue techniques could well perform. The higher concentration of APS, the greater particle size of the copolymer, but the copolymer is polymodal. Initiator redox H2O2/ascorbic acid produced greater particle size than initiator redox ascorbic acid/ H2O2. Keywords initiator, copolymerization, polymerization, emulsion polymerization, particle size 1. Pendahuluan Polimer merupakan makromolekul yang dibangun oleh unit-unit molekul sederhana yang tersusun secara berulang-ulang. Polimer pada dasarnya terdiri dari dua jenis yaitu polimer alam dan polimer buatan sintetik. Contoh dari polimer alam adalah selulosa, pati, dan protein. Kini telah banyak dilakukan pembuatan polimer sintetik untuk mendapatkan polimer-polimer dengan sifat-sifat fisika dan kimia yang diinginkan. Tidak heran jika penggunaan polimer alam tersaingi oleh polimer sintetik. Salah satu jenis polimer sintetik yang banyak digunakan saat ini adalah polimer emulsi. Pada tahun 1998 kebutuhan dunia terhadap polimer emulsi sebesar 7,4 juta metrik ton dan diramalkan kebutuhan tersebut pada tahun 2007 akan meningkat menjadi 10,1 juta metrik ton dengan pertumbuhan tahunan sebesar 3,6% [1]. Salah satu faktor yang menentukan sifat/karakter polimer emulsi adalah ukuran partikel. Polimer emulsi mengandung partikel dengan diameter 10 sampai dengan nm. Ukuran dan distribusi partikel sangat menentukan sifat polimer emulsi, seperti sifat aliran dan kestabilan polimer. Sebagai contoh, suatu bahan pelapis 61 MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 62dengan ukuran partikel yang kecil akan memberikan hasil coating yang halus, kekuatan adhesi yang baik, ketahanan terhadap air yang cukup baik serta kestabilan dari lateks yang cukup lama. Di samping itu, ukuran diameter partikel polimer yang kecil dapat menyebabkan bahan pelapis akan lebih gloosy atau transparan karena partikel-partikel polimer dari bahan pelapis akan lebih rapat, jadi tidak ada ruang untuk partikel lain masuk. Banyak penelitian yang telah mempelajari mekanisme pembentukan partikel dan faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran dan distribusi ukuran partikel pada polimer emulsi. Hergeth et al [2] mempelajari mekanisme pembentukan dan agregasi partikel primer pada permulaan polimerisasi emulsi. Capek [3] menjelaskan bahwa emulsifier berperan dalam pembentukan dan kestabilan partikel. Krishan [4] menerangkan bahwa konsentrasi inisiator mempengaruhi ukuran partikel. O' Callaghan et al [5] mempelajari bahwa teknik polimerisasi berpengaruh terhadap keseragaman ukuran partikel yang terbentuk. Pada penelitiannya O' Callaghan et al. menggunakan teknik polimerisasi semi kontinu untuk menghasilkan kopolimer MMA/BA dengan ukuran 3-4 μm yang seragam. Teknik yang sama juga digunakan oleh Tang dan Chu [6] untuk mempelajari ukuran dan distribusi ukuran partikel pada polimerisasi stirena, butil akrilat dan asam metakrilat. Sood [7] mengembangkan model matematika untuk menghitung distribusi ukuran partikel pada polimerisasi teknik batch dan semi batch. Keseragaman ukuran partikel dapat juga diperoleh pada polimerisasi stirena dengan cara mendispersikannya dalam alkohol [8]. Monfitriani [9] pada penelitiannya menggunakan kombinasi surfaktan natrium lauril sulfat dan nonil fenol EO 10 dengan perbandingan 2 8 untuk mendapatkan ukuran partikel < 0,6 μm dengan distribusi partikel sebesar 94 % pada kopolimerisasi stirena-butil akrilat-metil metakrilat. Teknik polimerisasi yang digunakan mengacu pada teknik polimerisasi semi kontinu seperti yang dilakukan oleh Tang dan Chu [6] dengan inisiator ammonium persulfat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi inisiator serta teknik polimerisasi terhadap ukuran partikel pada kopolimerisasi emulsi stirena-butil akrilat-metil metakrilat dengan menggunakan kombinasi surfaktan anionik sodium lauril sulfat dan nonionik nonil fenol EO 10. Parameter analisis yang akan dilakukan adalah persentase kandungan padatan, kekentalan dengan viskometer, ukuran partikel dan berat molekul polimer dengan Malvern Zeta Nano Particle Analyzer Nano Series dan Particle Size Analyzer LS 100, suhu transisi gelas dengan DSC, dan perubahan gugus fungsi dengan FTIR. 2. Experimental Bahan Kimia. Stirena, butil akrilat, dan metil metakrilat dari PT. Clariant. Natrium lauril sulfat 30%, nonil fenol EO 10, hidrogen peroksida 50%, ters-butil hidroperoksida 70%, ammonium persulfat, asam askorbat, dan air demineral. Formula. Formulasi monomer dan surfaktan, dibuat tetap yaitu monomer stirena sebesar 22,6%, butil akrilat 11,1%, dan metil metakrilat 1,05%. Sedangkan surfaktan yang digunakan sebesar 4,8 - 5% dari total formula. Digunakan dua surfaktan yaitu natrium lauril sulfat surfaktan anionik dan nonil fenol EO 10 surfaktan nonionik. Jadi total bahan baku selain air sebesar 40% dari total formulasi 1000 g. Formula rinci untuk masing-masing percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Polimerisasi. Pada penelitian ini dibandingkan empat jenis inisiator, yaitu ammonium persulfat APS, hidrogen peroksida H2O2, ters-butil hidroperoksida TBHP dan inisiator redoks H2O2/asam askorbat. Konsentrasi inisiator yang digunakan adalah 0,3%; 0,4%; 0,5% dari jumlah total formula. Metode yang dipakai adalah semi kontinu dan batch. a. Semi Kontinu Larutan initial charge mengandung sekitar 60% surfaktan yang dilarutkan dalam air demineral. Larutan Stream 1 berisi inisiator dan air demineral. Larutan stream 2 sering disebut dengan larutan pre-emulsi. Larutan ini berisi sisa surfaktan ditambah monomer-monomer. Pada metode semi kontinu ini, sebelum proses droping larutan stream, dibuat larutan pre-emulsi terlebih dahulu. Pertama kedua surfaktan dicampurkan terlebih dahulu. Jumlah surfaktan pada pre-emulsi adalah 40% dari jumlah total. Setelah surfaktan larut sempurna dalam air, monomer satu persatu dimasukkan dengan perlahan-lahan sambil terus diaduk. Setiap selesai satu jenis monomer dimasukkan, maka diaduk terlebih dahulu kurang lebih 10 menit, barulah ditambahkan monomer berikutnya. Larutan stream 1 dan stream 2 dialirkan ke dalam larutan initial charge dengan kecepatan konstan selama 5 jam. Suhu dijaga tetap yaitu 70°C-80°C. Polimerisasi menggunakan labu polimerisasi yang memiliki 5 lubang untuk droping stream 1, droping stream 2, kondensor, termometer,dan untuk pengaduk. Kecepatan pengaduk sekitar 150 rpm. Setelah itu dilakukan pasca polimerisasi selama 1 jam. b. Semi Kontinu Inisiator Redoks Prosedurnya dilakukan dengan mengalirkan larutan asam askorbat ke dalam campuran surfaktan, monomer, H2O2 dan air secara kontinu dengan menjaga kecepatan MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 63Tabel 1. Formula dalam gr Bahan Ari Ari Ari Ari Ari Ari 1 2 3 4 5 6 *Stream 2 Pre-Emulsi - Stirena 226,4 226,4 226,4 226,4 226,4 226,4 - Butil Akrilat 111 111 111 111 111 111 - Metil Metakrilat 10,5 10,5 10,5 10,5 10,5 10,5 - SLS 15,4 15,4 15,4 15,4 15,4 15,4 - Nonil Fenol EO10 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 - Air 263,18 262,74 263,18 260,11 263,18 *Stream 1 - APS 3 4 5 - Air 37,53 37,47 37,41 - TBHP 3 10 - H2O2 3 *Initial charge - SLS 23,1 23,1 23,1 23,1 23,1 23,1 - Nonil Fenol EO10 5,77 5,77 5,77 5,77 5,77 5,77 - Air 300,25 299,75 299,25 300,25 296,75 300,25 Teknik Semi kontinu Semi kontinu Semi kontinu Semi kontinu Semi kontinu Semi kontinu Tabel 1. Formula dalam gram lanjutan Bahan Ari Ari Ari Ari Ari Ari 7 8 9 10 11 12 *Initial charge - Stirena 226,4 226,4 226,4 226,4 226,4 226,4 - Butil Akrilat 111 111 111 111 111 111 - Metil Metakrilat 10,5 10,5 10,5 10,5 10,5 10,5 - SLS 38,5 38,5 38,5 38,5 38,5 38,5 - Nonil Fenol EO10 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 9,6 - H2O2 3 3 - Asam Askorbat 0,75 0,75 - Air 591 580,25 589 583,25 561 563,25 *Stream 1 - APS 5 - Asam Askorbat 0,75 0,75 - H2O2 3 3 3 - Air 10 20 10 17 39,25 37 Teknik Batch Batch redoks Batch Batch redoks Semi kontinu redoks Semi kontinu redoks MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 64konstan dan suhu dijaga tetap selama waktu polimerisasi 5 jam. Kemudian dilakukan pula sebaliknya, yaitu H2O2 dialirkan ke dalam campuran surfaktan monomer, asam askorbat dan air selama waktu polimerisasi 5 jam. c. Batch Dalam teknik batch, seluruh monomer, air, dan surfaktan langsung dicampur dalam satu wadah. Ketika suhu polimerisasi tercapai 70-80°C, seluruh inisiator dialirkan ke labu polimerisasi shot. d. Batch Inisiator redoks Prosedur yang digunakan sama seperti teknik batch biasa hanya saja penambahan dilakukan secara shots 60 menit penambahan sejumlah larutan inisiator tiap 60 menit. Dilakukan penambahan sejumlah larutan asam askorbat ke dalam larutan initial charge selama 60 menit. Dilakukan pula penambahan sejumlah larutan H2O2 ke dalam larutan initial charge selama 60 menit Karakterisasi Kandungan Padatan. Sejumlah sampel polimer emulsi ditimbang sekitar ± 1-2 g pada aluminium foil yang telah diketahui bobot kosongnya. Sampel tersebut kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu ±105 oC selama 2 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Total kandungan padatan dihitung dengan persamaan sebagai berikut SC = BAC − x 100 % A = Berat alumunium foil kosong B = Berat sampel sebelum dikeringkan di dalam oven C = Berat alumunium foil dan sampel kering Viskositas. Sampel ditempatkan pada suatu wadah. Viskositas diukur dengan mengatur spindle dan rpm yang tepat pada alat viskometer. Skala yang diperoleh dicatat pada alat viskometer pada skala yang stabil selama beberapa detik. Contoh perhitungan viskositas Spindle 4 Rpm 12 Skala baca 30 Maka viskositasnya = 30 X 100 = 3000 mPas angka 100 merupakan faktor multiplikator yang didapatkan dari pada alat Brookfield. Temperatur Transisi Gelas. Sampel ditimbang sebanyak 5-20 mg. Untuk sampel serbuk, sampel langsung digerus halus, polimer yang diukur, dan pan blanko tetap pada posisi semula selama pengukuran dan diletakkan di dalam pan. Untuk sampel rubbery, sampel dicetak pada alat plat kaca dan dikeringkan, kemudian film yang dihasilkan dipotong seukuran pan diameter film sekitar 3-4 mm. Sampel dalam pan ditutup dengan tutup stainless steel menggunakan alat crimp. Alat DSC dihidupkan, dengan mengalirkan gas nitrogen dan pengaturan kenaikan suhu 2o C per menit. Untuk kalibrasi suhu dan panas DSC, pada alat diletakkan blanko berupa pan kosong dan sampel berisi zat pengkalibrasi yaitu Indium dan Seng. Setelah kalibrasi selesai, sampel Indium dan/atau Seng diganti dengan sampel polimer yang diukur, dan pan blangko tetap ada posisi semula selama pengukuran. olekul juga dilakukan dengan alat i secara otomatis. jang gelombang mulai 4000 cm-1 sampai 000 cm-1. . Hasil dan Pembahasan n reaksi polimerisasi telah berlangsung sempurna. pDistribusi Ukuran Partikel. Sampel diambil dengan menggunakan ujung pengaduk dilarutkan dengan 300 mL air demineralisasi dan diaduk sampai homogen. Larutan sampel yang digunakan harus sedikit transparan, dimasukkan ke dalam disposeable plastic cuvet dengan tinggi larutan maksimum 15 mm. Sampel diukur menggunakan Zeta Nano Particle Analyzer dengan setting run 5 kali pengukuran per sampel pada attenuator dengan lebar slit yang optimum yaitu sekitar 6 - 8. Untuk sampel yang terlalu keruh maka attenuator akan berada di bawah 6 dan sampel perlu diencerkan. Sampel yang terlalu transparan maka attenuator akan berada di atas 8 maka sampel perlu ditambah. Pengukuran berat minFTIR. Dari lapisan film yang akan diuji, dibuat ukuran yang sama, p x l 2x 0,5 cm. Selanjutnya diletakkan di atas alat ATR Zirconia, ditempatkan pada ruang pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mengatur kisaran pan13Kopolimerisasi. Penentuan kandungan padatan biasanya merupakan analisis pertama yang dilakukan karena kandungan padatan dapat dijadikan suatu indikator sempurnanya reaksi polimerisasi. Persen kandungan padatan teoritis yang dibuat dalam percobaan ini adalah 40%. Bila kandungan padatan yang dihasilkan mendekati kandungan padatan teoritisnya, menandakaKandungan Padatan%010203040Ari 1 Ari 2 Ari 3 Ari 4 Ari 5 Ari 6 Ari 7 Ari 8 Ari 9 Ari 10 Ari 11 Ari 12Kode SampelKandungan Padatan%Gambar 1. Kandungan Padatan MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 65Dari data kandungan padatan pada Gambar 1 terlihat bahwa kandungan padatan yang dihasilkan dari percobaan hampir mendekati nilai teoritisnya % konversi berkisar antara 88,7% sampai dengan 93,0%. Hasil ini membuktikan bahwa polimerisasi telah terjadi dan bahkan hampir sempurna. Pada Ari 4, Ari 5, Ari 6, Ari 7 tidak dilakukan pengukuran kandungan padatan. Ini dikarenakan secara fisik terlihat bahwa polimerisasi elum berlangsung secara sempurna terjadi pemisahan polimerisasi telah terjadi. Secara teoritis, Tg opolimer dapat dihitung melalui persamaan Fox [1] yaitu byang jelas antara polimer dengan monomernya. Selain dari hasil pengukuran kandungan padatan, data Tg yang diukur menggunakan DSC juga menunjukkan bahwa kTg1 = 1Tg 1Wm + 2Tg 2Wm + ….. + Tgndengan Tg1, Tg2…. adalah Tg homopolimer, sedangkan Wm1, Wm2… adalah fraksi berat dari masing-masing monomer terhadap total berat monomer. Berdasarkan persamaan Fox, Tg teoritis kopolimer pada penelitian ini adalah 30°C. Data Tg yang diperoleh Ari 2 = 32,8°C, Ari 3 = 42,6°C, Ari 8 = 35,4°C, Ari 9 = 40,3°C, Ari 11 = 35,5°C dan Ari 12 = 34,8°C dan menunjukkan nilai Tg yang berbeda dari Tg homopolimer stirena Tg = 100°C, homopolimer butil akrilat Tg=-54° maupun homopolimer metil metakrilat Tg=105°C. DatWmn a Tg tersebut membuktikan bahwa yang terbentuk adalah kopolimer bukannya onomer metil metakrilat 1717 cm , sedangkan bilangan gelombang kopolimer Ari 3 adalah 1728 cm-1. homopolimer. Adanya pergeseran dalam spektrum IR juga memperkuat bukti, bahwa telah terjadi proses polimerisasi. Spektrum IR memperlihatkan terjadinya pergeseran bilangan gelombang gugus karbonil ke arah bilangan gelombang yang lebih besar. Bilangan gelombang C=O dari monomer butil akrilat 1725 cm-1, -1m1728 c-1 Gambar 3. Spektrum IR Ari 3 Berat Molekul kDa0100002000030000400005000060000Ari 1 Ari 2 Ari 3 Ari 4 Ari 5 Ari 6 Ari 7 Ari 8 Ari 9 Ari 10 Ari 11 Ari 12Kode SampelBerat MolekulkDaGambar 4. Berat Molekul Kopolimer Adanya pergeseran ini diakibatkan terjadinya reaksi polimerisasi pada ikatan C = C yang ada pada butil akrilat dan metil metakrilat, sehingga ikatan rangkap terkonjugasi menjadi hilang dan menyebabkan terjadinya kenaikan energi untuk melakukan stretching C=O. Kenaikan energi ini mengakibatkan kenaikan bilangan gelombang. Data berat molekul polimer yang dihasilkan, yang dapat dilihat pada Gambar 4. memperkuat bahwa polimerisasi telah terjadi. Hubungan Jenis Inisiator dan Teknik Polimerisasi dengan Kandungan Padatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kandungan padatan merupakan salah satu parameter analisis yang penting untuk dilakukan. Untuk polimerisasi menggunakan inisiator APS baik menggunakan teknik batch, semi kontinu maupun inisiator redoks didapatkan persen kandungan padatan yang hampir mendekati nilai teoritisnya, yaitu sebesar 40% % konversi berkisar antara 88,7% sampai dengan 93,0%. Lain halnya dengan inisiator organik TBHP maupun H2O2. Tidak dilakukannya pengukuran ini disebabkan karena secara fisik terlihat jelas bahwa polimer yang dihasilkan sangatlah tidak sempurna sehingga dapat dipastikan bahwa kandungan padatannya pun akan sangat rendah. Karena kandungan padatan merupakan salah satu indikator sempurnanya reaksi, jadi dapat disimpulkan Gambar 2. Kurva DSC Ari 2 MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 66bahwa dengan inisiator TBHP maupun H2O2, polimerisasi telah terjadi namun belum berjalan dengan sempurna. Hal ini berkaitan erat dengan laju dekomposisi yang biasanya dispesifikasikan dengan waktu paruh dan juga kelarutan masing-masing inisiator dalam air [1]. Waktu paruh merupakan waktu pada saat suhu tertentu, konsentrasi suatu zat menjadi setengahnya. Saat dilakukan polimerisasi pada suhu 70- 80°C, waktu paruh untuk inisiator TBHP dan H2O2 jauh lebih tinggi daripada inisiator APS sehingga dapat dipastikan bahwa pada temperatur proses polimerisasi tersebut, inisiator TBHP maupun H2O2 belum terdekomposisi secara sempurna dan dapat dikatakan bahwa pada suhu 70-80°C bukan merupakan suhu optimum bagi dekomposisi inisiator TBHP dan H2O2. Disamping itu, kelarutan inisiator organik TBHP dalam air sangatlah rendah sehingga berpengaruh juga terhadap polimer emulsi yang dihasilkan. H2O2 merupakan inisiator anorganik yang memiliki kelarutan yang tinggi dalam air namun kelarutan APS dalam air lebih tinggi daripada H2O2 [10], sehingga inisiator APS lebih sering dipakai. Kandungan padatan berhubungan erat dengan monomer sisa karena monomer sisa menunjukkan jumlah monomer yang tidak terpolimerisasi selama reaksi [11]. Untuk mengurangi monomer sisa, biasanya dilakukan reaksi pasca polimerisasi dengan menambahkan kembali inisiator [9]. Variasi teknik antara teknik batch Ari 9 dengan semi kontinu Ari 3 tidak berpengaruh terhadap kandungan padatan yang diperoleh. Penambahan asam askorbat sebagai pereduksi mampu meningkatkan laju dekomposisi H2O2 [10] sehingga tidak heran bila melalui inisiator redoks, kandungan padatan yang dihasilkan tinggi Ari 8, Ari 11, Ari 12. Untuk polimerisasi Ari 10, kegagalan proses diakibatkan oleh pembentukan " bubble" . Bubble O2 yang terbentuk merupakan hasil dari kombinasi radikal OH menjadi H2O dan O2 sehingga polimer yang dihasilkan dalam waktu sekitar setengah jam meluap dari labu polimerisasi, oleh karena itu tidak dilakukan pengukuran. Bila waktu shot-nya diperpanjang, ViskositasmPas0246810Ari 1 Ari 2 Ari 3 Ari 4 Ari 5 Ari 6 Ari 7 Ari 8 Ari 9 Ari 10 Ari 11 Ari 12Kode SampelViskositasmPas010002000300040005000Gambar 5. Viskositas Kopolimer kemungkinan polimerisasi akan terjadi sama seperti halnya polimerisasi pada Ari 8, Ari 11, Ari 12, karena pembentukan radikal OH berlangsung sedikit demi sedikit dan O2 yang dihasilkan pun akan berkurang. Hubungan Jenis Inisiator dan Teknik Polimerisasi dengan Viskositas. Viskositas diukur menggunakan alat viskometer Brookfield. Alat ini bekerja berdasarkan friction yang ditimbulkan oleh emulsi terhadap luas area spindle yang digunakan. Viskositas berpengaruh terhadap hasil polimer emulsi [11]. Aplikasi polimer untuk bahan pelapis/coating dan biasanya memerlukan polimer yang viskositasnya tidak terlalu tinggi tetapi juga tidak terlalu encer [9]. Data viskositas dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan data yang didapat, disimpulkan dengan teknik semi kontinu, makin banyak inisiator yang ditambahkan Ari 1, Ari 2, Ari 3, viskositas makin bertambah besar. Kenaikan ini disebabkan karena semakin banyak inisiator yang ditambahkan, kecepatan pembentukan radikal makin cepat, sehingga kecepatan masuknya radikal ke partikel juga makin cepat [1]. Dengan makin cepatnya radikal masuk ke partikel, kecepatan polimerisasi bertambah pula, yang pada akhirnya akan memperbesar ukuran partikel yang dihasilkan. Makin besar ukuran partikel yang dihasilkan, belitan antar rantai akan makin kuat juga sehingga terjadi kenaikan viskositas. Pengaruh teknik polimerisasi batch Ari 9 dengan semi kontinu Ari 3 terhadap viskositas juga menunjukkan adanya sedikit perbedaan. Untuk teknik batch karena adanya konsentrasi monomer yang tinggi pada saat polimerisasi, akan mengarah pada pembentukan polimer rantai lurus/linier. Sedangkan teknik semi kontinu, konsentrasi monomer pada saat polimerisasi lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi polimernya sehingga mengarah pada pembentukan polimer rantai cabang [1]. Belitan rantai polimer yang bercabang lebih besar daripada rantai lurus sehingga viskositas rantai polimer yang bercabang lebih besar. Disamping itu terbentuknya ukuran partikel yang bimodal turut berkontribusi terhadap rendahnya viskositas yang dihasilkan [1]. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan viskositas antara inisiator redoks dengan inisiator APS, dimana terlihat jelas bahwa untuk inisiator APS, terbentuk sistem bimodal yang mengakibatkan rendahnya viskositas yang dihasilkan. Hubungan Jenis Inisiator dan Teknik Polimeri-sasi dengan Ukuran Partikel. Ukuran dan distribusi ukuran partikel merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi sifat-sifat polimer [1]. Biasanya dengan semakin kecilnya ukuran partikel maka penyusunan pada coating polimer akan lebih rapat sehingga tidak ada ruang untuk partikel lain akan masuk. MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 67UkuranPartikelmikron 1 Ari 2 Ari 3 Ari 4 Ari 5 Ari 6 Ari 7 Ari 8 Ari 9 A ri 10 Ari 11 Ari 12Kode SampelUkuran PartikelmikronGambar 6. Ukuran Partikel Kopolimer nm Ukuran Partikelnm020406080100120140Ari 1Ari 2Ari 3Ari 4Ari 5Ari 6Ari 7Ari 8Ari 9Ari 10Ari 11Ari 12Kode SampelUkuran PartikelnmGambar 7. Ukuran Partikel Kopolimer µm Semakin banyak jumlah inisiator APS yang ditambahkan Ari 1, Ari 2, Ari 3, maka kecepatan polimerisasi akan bertambah sehingga ukuran partikelnya pun semakin membesar. Penambahan inisiator juga semakin memicu pembentukan distribusi ukuran partikel yang polimodal. Terlihat bahwa untuk inisiator APS 3 g, akan menghasilkan pembentukan distribusi ukuran partikel yang hanya bimodal, untuk APS 4 g dihasilkan pembentukan distribusi ukuran partikel trimodal, sedangkan untuk APS 5 g, dihasilkan distribusi ukuran partikel yang tetramodal. Hal ini disebabkan karena makin banyak jumlah inisiator, akan memicu pembentukan secondary nucleation yang nantinya menentukan distribusi ukuran partikel yang multimodal. Hasil ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Schneider [12]. Secara teoritis, melalui teknik semi kontinu akan dihasilkan ukuran partikel yang lebih besar dan distribusi ukuran partikel yang lebih mengarah ke monodisperse daripada teknik batch. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan data yang didapat. Dari data yang diperoleh, untuk teknik semi kontinu Ari 3, diperoleh distribusi ukuran partikel tetramodal sedangkan trimodal untuk teknik batch Ari 9 . Hal ini disebabkan karena jumlah surfaktan yang ditambahkan jauh di atas nilai CMC nya, yaitu sekitar 20 kali CMC. Akibatnya semakin banyak jumlah misel yang terbentuk. Jadi pada teknik semi kontinu, probabilitas terbentuknya secondary nucleation lebih besar dibandingkan pada teknik batch, karena monomer pada teknik semi kontinu akan lebih terdistribusi secara acak saat berada dalam initial charge. Dengan distribusi ukuran partikel yang cenderung lebih multimodal, tentunya ukuran partikel yang dihasilkan juga lebih kecil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah inisiator dan surfaktan sangat mempengaruhi pembentukan secondary nucleation. Untuk inisiator redoks Ari 8, Ari 11 diperoleh hasil yang sama dengan alasan serupa yaitu 0,773 mikron untuk shot 60 menit dan 0,75 mikron untuk semi kontinu. Untuk sistem H2O2/asam askorbat dengan semi kontinu Ari 11 didapatkan ukuran partikel yang lebih besar baik dalam skala nano maupun mikron daripada sistem asam askorbat/H2O2 Ari 12. Hal ini dikarenakan penambahan asam askorbat ke dalam initial charge yang mengandung H2O2 akan menghasilkan radikal yang lebih banyak daripada penambahan H2O2 ke dalam initial charge yang mengandung asam askorbat. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kopolistirena/butil akrilat/metil metakrilat terbentuk dengan kandungan padatan berkisar antara 35-37% %konversi 88–93% dan nilai Tg berkisar antara 32,8-42,6°C. Jenis dan konsentrasi inisiator serta teknik polimerisasi mempengaruhi ukuran partikel yang diperoleh, semakin banyak jumlah inisiator yang digunakan, akan menghasilkan kopolimer dengan ukuran partikel yang makin besar. Kopoli stirena/butil akrilat/metil metakrilat kurang sempurna pembentukannya bila digunakan inisiator TBHP dan H2O2. Inisiator redoks lebih baik daripada inisiator APS karena mengarah ke pembentukan partikel yang monodisperse. Penambahan inisiator 3 g per 1000 g formula merupakan kondisi terbaik, karena partikel yang terbentuk lebih kecil dan distribusi ukuran partikelnya cenderung mengarah ke monodisperse. Dalam percobaan ini, teknik batch lebih baik daripada teknik semi kontinu karena indeks polidispersitasnya lebih rendah. Asam askorbat dalam inisiator redoks berfungsi sebagai pemicu dalam pembentukan radikal OH sehingga dengan adanya asam askorbat akan terbentuk polimer emulsi yang jauh lebih sempurna daripada tanpa penambahan asam askorbat. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Departemen Kimia dan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia serta PT Clariant Indonesia atas bantuan bahan, alat, dan proses pengukuran pada penelitian ini. MAKARA, SAINS, VOLUME 12, NO. 2, NOVEMBER 2008 61-68 68Daftar Acuan [1] D. Urban, K. Takamura,. Polymer Dispersions and Their Industrial Applications. Wiley-VCH Verlag GmbH. Weinheim, 2002 [2] Hergeth, E. Stettin, K. Witkowski, K Schmutzler, Macromol. Chem. 1992 193 1607-1621. [3] I. Capek, Acta Polymerica. 1991 42 273-277. [4] T. Krishan, M. Margaritova,. J. Polymer Sci. 1961 52 139-145. [5] O'Callaghan, Paine, A. Rudin, J. Polymer Sci. Part A Polymer Chemistry 1995 33 1849-1857. [6] C. Tang, F. Chu, J. App. Polymer Sci. 2001 82 2352-2356. [7] A. Sood, J. App. Polymer Sci. 2004 92 2884-2902. [8] Tseng, Lu, El-Aasser, Vanderhoff, J. Polymer Sci. Part A Polymer Chemistry 1986 24 2995-3007. [9] Monfitriani, Tesis S2, Ilmu Material Pascasarjana FMIPA, Universitas Indonesia, Indonesia, 2004. [10] S. Boutti, Zafra, C. Graillat, McKenna,. Macromol. Chem. Phys. 2005 206 1355-1372. [11] Hafizah, 2004. Optimasi Proses Polimerisasi Vinil Asetat, Karya Utama Sarjana Kimia, Departemen Kimia, FMIPA Universitas Indonesia, Depok, 2004. [12] M. Schneider, C. Graillat, A. Guyot, McKenna, J. Polymer Sci. 2002 84 1897-1915. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this UrbanDieter DistlerNames and Definitions Properties of Polymer Dispersions Important Raw Materials Commercial Importance of Polymer Dispersions Manufacturers of Polymer DispersionsC TangF ChuJ AppC. Tang, F. Chu, J. App. Polymer Sci. 2001 82 SoodJ AppA. Sood, J. App. Polymer Sci. 2004 92 2884- M TsengY Y LuM S El-AasserJ W Tseng, Lu, El-Aasser, Vanderhoff, J. Polymer Sci. Part A Polymer Chemistry 1986 24 Proses Polimerisasi Vinil Asetat, Karya Utama Sarjana Kimia, Departemen KimiaM A E Hafizah, 2004. Optimasi Proses Polimerisasi Vinil Asetat, Karya Utama Sarjana Kimia, Departemen Kimia, FMIPA Universitas Indonesia, Depok, W HergethE StettinK Hergeth, E. Stettin, K. Witkowski, K Schmutzler, Macromol. Chem. 1992 193 J O'callaghanA J PaineA O'Callaghan, Paine, A. Rudin, J. Polymer Sci. Part A Polymer Chemistry 1995 33 BouttiR D ZafraC GraillatT F MckennaS. Boutti, Zafra, C. Graillat, McKenna,. Macromol. Chem. Phys. 2005 206 SchneiderC GraillatA GuyotT F MckennaM. Schneider, C. Graillat, A. Guyot, McKenna, J. Polymer Sci. 2002 84 KrishanM MargaritovaT. Krishan, M. Margaritova,. J. Polymer Sci. 1961 52 139-145.
Asamaskorbat biasa terdapat pada bread improver yang akan meningkatkan kemampuan adonan untuk menahan gas dengan cara menguatkan jaringan gluten sehingga akan meningkatkan pengembangan selama roti dipanggang dan akan mengasilkan roti dengan ukuran pori-pori yang seragam serta remah roti yang lembut (Calvin and Young, 2000).
Ekstrakdiklorometana digabungkan dengan semua fraksi yang berwujud emulsi di dalam labu Erlenmeyer 125 ml, lalu ditambahkan kalsium klorida anhidrat sambil diaduk selama 10 menit. Etil asetat dan kloroform berfungsi sebagai medium fasa bergerak pada larutan organik, dan metanol (senyawa alkohol) berfungsi sebagai medium fasa bergerak